dilam

dilam
APA KATA DUNIA MAMA

Rabu, 03 Maret 2010

Wound healing and FESS

WOUND HEALING STAGING

AFTER FUNCTIONAL SINUS SURGERY

Pendahuluan

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus paranasalis (1)

BSEF merupakan prosedur paling sering dikerjakan untuk menangani sinusitis kronis yang gagal dengan terapi medikamentosa. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu, umumnya radikal dengan morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah. (1,2)

Keuntungan teknik BSEF, dengan penggunaan endoskop dan sumber cahaya yang terang menghasilkan visualisasi lapang operasi yang lebih baik sehingga kelainan dalam rongga hidung dan sinus paranasalis lebih mudah teridentifikasi. Dengan demikian pengangkatan jaringan patologis dapat lebih bersih dengan morbiditas yang minimal.

Tingkat keberhasilan BSEF telah dilaporkan oleh banyak penulis antara 76 % - 97,5 % ( Levine, 2002; Hosemann, 2000). Stammberger dan Posawetz meneliti 500 pasien telah menjalani BSEF dengan teknik Messerklinger didapatkan 85 % pasien berhasil sangat baik, 6 % memuaskan, 4,2 % ada perbaikan dan 4,6 % dilaporkan tidak ada perbaikan atau memburuk (Stammberger, 1990). Penelitian Damayanti Soetjipto terhadap 300 pasien yang telah menjalani BSEF dengan indikasi utama sinusitis kronik dan poliposis di dapatkan 87,50 % sembuh, 8,09% mengalami perbaikan, 4,41% tidak ada perbaikan dan tidak didapati keadaan yang memburuk (Soetjipto D, 2003). Data dari Bagian THT UNHAS Makassar 1996-2001 telah dilakukan tindakan BSEF sebanyak 802 dengan tingkat keberhasilan 82,4 % kasus sembuh atau mengalami perbaikan, 4,7 % kasus dilakukan operasi revisi, 3,5% kasus menolak operasi revisi dan 9,4 % kasus dilakukan perawatan di poliklinik (1)

Anatomi Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Penguasaan mendalam anatomi dinding lateral hidung dan sinus paranasalis sangat penting dimiliki oleh seorang ahli BSEF untuk keberhasilan operasi serta meminimalkan terjadinya komplikasi.

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah area yang dibatasi oleh konka media di medial dan lamina papirasea di lateral. Kompleks ini berperan penting dalam patofisiologi sinusitis paranasalis Struktur yang termasuk dalam kompleks ini adalah konka media, prosesus unsinatus, bulla ethmoid, infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, ostium sinus maksilaris, resesus frontal dan sel-sel agger nasi. (2,3)

Konka media

Konka media merupakan bagian dari os ethmoid, di superior melekat pada lateral lamina kribrosa. Pada bagian posterior membelok ke lateral dan melekat di lamina papirasea yang kemudian disebut lamina basalis memisahkan sel-sel sinus ethmoid anterior dengan sel-sel sinus ethmoid posterior.

Prosesus unsinatus

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari antrosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung. Prosesus unsinatus dapat melekat di lamina papirasea, basis kranii atau di konka media.(2,3)

Bulla etmoid

Bulla etmoid merupakan salah satu sel etmoid anterior yang paling konstan dan paling besar. Terletak di dalam meatus nasi medius, posterior dari prosesus unsinatus dan anterior dari lamina basalis konka media. Di superior, dinding anterior bulla etmoid dapat meluas sampai ke basis kranii dan membentuk batas posterior dari resesus frontalis. Bila bulla etmoid tidak mencapai basis kranii, maka akan terbentuk resesus suprabullar antara basis kranii dengan permukaan superior dari bulla. Di posterior, bulla bertautan langsung dengan lamina basalis atau terdapat ruang antara bulla dan lamina basalis yang disebut resesus retrobullar. (2,3)

Infundibulum etmoid(2,3)

Infundibulum etmoid adalah terowongan tiga dimensi yang menghubungkan ostium natural sinus maksilaris dengan meatus medius melalui hiatus semilunaris.

Batas-batas infundibulum etmoid

Batas medial : prosesus unsinatus dan hiatus semilunaris

Batas lateral : lamina papirasea

Batas anterior : pertemuan antara prosesus unsinatus dengan lamina papiracea

Batas posterior: permukaan anterior bulla etmoid

Batas superior : bervariasi tergantung dari perlekatan prosesus unsinatus

Hiatus semilunaris

Hiatus semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit terletak antara posterior tepi bebas prosesus unsinatus dengan dinding anterior bulla etmoid. (2,3)

Ostium sinus maksilaris

Ostium naturalis sinus maksilaris mengalirkan sekretnya ke dalam infundibulum. Ostium ini terletak di dinding medial sinus maksilaris sedikit ditepi bawah lantai orbita. Van Alyea melaporkan bahwa 10 % ostium maksilaris berada di 1/3 superior, 25 % berada di 1/3 tengah dan 65 % berada di 1/3 bawah dari infundibulum. Ostium aksesoris sinus maksilaris ditemukan pada 20 %- 25 % kasus. Ostium naturalis sinus maksilaris berbentuk bulat sedangkan ostium aksesoris biasanya berbentuk elips dan berada di posterior ostium naturalis. (2,3)

Resesus frontalis(2,3)

Resesus frontalis ditemukan di bagian anterosuperior sinus etmoid anterior yang berhubungan dengan sinus frontal

Batas-batas resesus frontalis

Batas medial : konka media

Batas lateral : lamina papirasea

Batas superior : basis kranii

Batas inferior : tergantung dari perlekatan prosesus unsinatus

Batas anterior : dinding posterosuperior sel-sel agger nasi

Batas posterior : dinding anterior bulla etmoid

. Ostium natural sinus frontalis konfigurasinya bervariasi tetapi paling sering nampak seperti jam pasir yang bermuara langsung ke resesus frontalis .

Sel agger nasi (2,3)

Sel ager nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel etmoid anterior. Terletak agak ke anterior dari perlekatan anterosuperior konka media dan anterior dari resesus frontal. Sel ager nasi yang membesar dapat meluas ke sinus frontal dan menyebabkan penyempitan resesus frontal.

Batas-batas sel agger nasi

Batas anterior : prosesus frontal os maksila

Batas superior : resesus frontalis

Batas anteroleteral : os nasalis

Batas inferomedial : prosesus uncinatus

Batas inferolateral : os lakrimalis

Mukosa hidung dan sinus paranasal.

Mukosa hidung merupakan barier fisik terhadap material asing dan sebagai pengatur udara inhalasi. Epitel hidung terletak pada membrane basal. Epitel kolumner berlapis semu terdiri dari 4 tipe sel utama : sel cilia, sel non cilia, sel goblet dan sel basal yang menjamin produksi mucus dan transport, resorpsi material permukaan, dan pembentukan sel epitel baru. Lamina propria terdiri dari dua lapisan kelenjar seromukous : lapisan superficial dibawah epitel dan lapisan profunda dibawah lapisan vascular. Dibawah membrane basal, limfosit dan sel plasma membentuk lapisan limpoid. Vaskularisasi hidung di cirikan oleh kapasitansi pembuluh darah. Dengan spesifitas vaskuler ini mukosa nasal dapat mengatur aliran udara, adapatasi terhadap tahanan nasal, penyaring dan pengatur udara, serta mengatur lini pertama pertahanan imun. Selama proses penyembuhan, matriks ekstraseluler dapat langsung mempengaruhi fungsi faktor pertumbuhan dan ekpresi reseptornya serta dapat memodifikasi penotife seluler atau adhesi. (2,4,5,6,7)

Gbr. 1. Histologi mukosa hidung

I : Lapisan epitel (1a= sel cilia, 1b=sel goblet, 1c= sel non cilia, 1d= sel basal

II : Lapisan kelenjar superficial

III : lapisan vascular

IV: Lapisan kelenjar profunda

Preservasi mukosa

Kennedy mengemukakan bahwa prinsip BSEF adalah preservasi mukosa, dengan mempertahankan yang mukosa sehat. Mukosa yang mengalami perubahan patologis reversibel dipertahankan dan perbaikan aerasi dan drainasenya sehingga kembali normal. Sedangkan lesi yang ireversibel yang ditandai dengan edema berat dan hipertrofi dilakukan eksisi hanya pada permukaan mukosa dengan cutting forceps dan membiarkan mukoperiosteum tetap intak (hindari terpaparnya permukaan tulang). Dengan metode ini inflamasi jaringan subepitelial tidak tampak dan terjadi regenerasi epitel mukosa yang sehat (3)

Pada operasi sinus konvensional mukosa diangkat secara radikal. Hal ini menjadikan permukaan tulang terekspose sebagai akibat eliminasi mukosa dan periosteum, maka permukaan tulang yang terekspose akan ditutupi oleh jaringan edematous yang segera mengalami sikatriks. Regenerasi epitel mukosa menjadi terlambat dan diperlukan waktu yang lama untuk menutupi dengan epitel mukosa yang berasal dari jaringan sekitarnya. Epitel mukosa yang mengalami regenerasi setelah dieleminasi seluruh mukosanya hanya mempunyai sedikit sel silia sehingga fungsi ekskresinya menjadi jelek(3)

Prinsip umum penyembuhan luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks, terkoordinasi dengan proses yang bertahap. Disamping partisipasi aktif dari elemen struktur dari mukosa hidung, penyembuhan luka melibatkan banyak sel inflamasi spesifik untuk melepaskan mediator ataupun enzim. Penyembuhuan luka merupakan proses yang terdiri dari berbagai reaksi berbeda seperti koagulasi, inflamasi, pembentukan jaringan dan maturasi (remodeling) menggunakan signal lokal dan sistemik. (5,6,7)

Gambar. 2. Peranan sel inflamasi selama fase awal penyembuhan luka (6)

Proses perbaikan diperankan oleh berbagai macam sitokin, faktor pertumbuhan, matriks ekstra seluler . Nitrit oksida berpartisipasi dalam regulasi penyembuhan. Faktor pertumbuhan merupakan signal protein yang dilepaskan dari jaringan lokal dan produk darah yang mengaktivasi sel target untuk berreplikasi atau berpindah. Akhir dari proses peyembuhan dibandinkan dengan mukosa normal, dimana mukosa yang sembuh nampak berebda secara histomorfologi seperti adanya fibrosis pada lamina propia, kelenjar sero-mukous yang sedikit dan perubahan pada struktur dan komposisi epitel. (2,5,6)

Tahapan Penyembuhan Luka (2,4,5,6,7)

Penyembuhan luka pada lapisan mukosa merupakan proses yang terorganisasi dengan baik, melibatkan proses inflamasi, proliferasi sel, deposisi dan remodeling matriks yang di regulasi oleh berbagai jenis sitokin dan faktor pertumbuhan.

  1. Koagulasi

Perdarahan akibat trauma pada mukosa hidung oleh karena tindakan operasi akan mengaktifkan platelet dan segera dilepaskannya sejumlah substansi vasokatif (serotinin, bradikinin dan histamin). Vasokontriksi pembuluh darah terjadi dalam 5 hingga 10 menit untuk mengontrol perdarahan diikuti oleh terbentuknya bekuan darah dengan agregasi platelet pada mukosa yang luka. Platelet merupakan elemen penting pada proses ini, tidak hanya karena fungsi hemostatisnya namun juga melepaskan sejumlah sitokin. Mukosa hidung yang rusak akan melepaskan PDGF, TGF-a dan TGF-b, sementara sel mast melepaskan substansi biologic lain atau factor pertumbuhan yang mengatur awal pemulihan. Fibrin dalam konjugasinya dengan fibrinektin bertindak sebagai matriks penting untuk influx monosit dan fibroblast. Fibrin juga menstimulasi granula alfa dalam agregasi plateler untuk melepaskan PDGF, EGF, IGF-1, TGF-b dan FGF.

  1. Inflamasi

Pada lapisan lamina propia, reaksi inflamasi dimulai secala simultan dengan fase koagulasi. Reaksi ini ditandai oleh infiltrasi leukosit, yang bermigrasi melalui pembuluh darah oleh proses yang disebut diapesesis. Sel PMN lebih dominant didapatkan pada 24 hingga 48 jam pertama dan dilepaskannya molekul elastase dan kolagenase yang memfasilitasi penetrasi sel kedalam matriks ekstra seluler. Setelah 3 hingga 5 hari trauma, populasi neutrofil digantikan oleh dominasi monosit. Tidak seperti neutrofil, influx makrofag penting untuk proses penyembuhan luka. Makrofag berperan dalam debridemant sel dan melepaskan sejumlah faktor pertumbuhan : TGF-(16), bFGF, EGF, TGF-dan PDGF. Molekul ini memperkuat dan meneruskan proses penyembuhan luka. Limfosit dan roduknya, TGF-b, IL, TNF dan IFN juga berinteraksi dengan makrofag selama proses inflamasi, berhubungan dengan respon imun terhadap penyembuhan luka. Pada pembersihan luka operasi khusus, proses inflamasi berlanjut selama beberapa hari, namun demikian dapat berlanjut untuk beberapa minggu dalam kontaminasinya dengan luka postraumatik.

  1. Pembentukan jaringan

Jaringan granulasi atau stroma yang terbentuk terdiri dari fibroblast, makrofag dan neovaskuler dapat di amati kira-kira 4 hari setelah trauma dalam matriks kolagen jaringan ikat longgar, asam hialuronat dan fibronektin. Makrofag pada lapisan lamina propia terus memproduksi sitokin penting guna menstimulasi proliferasi fiboiblast dan proses angiogenesis.

Fibroplasia

Merupakan bentuk migrasi dan proliferasi sel fibroblast serta deposisi matriks ekstra seluluer. Melalui berbagai macam sitokin dari platelet dan makrofag atau melalui regulasi autokrin, fibroblast berperan dalam luka mukosa hidung. Molekul struktural dari ECM awal juga berkontribusi pada pembentukan jaringan yang memberikan jalan untuk mobilitas sel dan panduan (fibronektin, kolagen, dan asam hialuronat) serta berperan sebagai cadangan sitokin. Sekali fibroblast bermigrasi ke luka mukosa, molekul ini secara bertahap berganti fungsi, sintesis protein dan melepaskan faktor pertumbuhan. Komposisi dan struktur jaringan granulasi tergantung pada lamanya trauma dan jarak dari tepi luka.

Angiogenesis

Sel endothelial mukosa hidung mulai berproliferasi melalui fragmen membran basal. Sel-sel ini bermigrasi kedalam ruang perivaskulaer dan mengikuti sel endotelial lain. Faktor pertumbuhan angiogenik (FGF, TGF-, EGF, TGF-, PDGF) yang dilepaskan dari sel mukosa hidung yang trauma, platelet dan ECM, menginduksi vaskularisasi, mensuplai oksigen pada luka. Migrasi sel endotelial bergantung pada sekresi kolagen dan diikuti oleh sintesis proteoglikan.

Reepitelisasi

Migrasi sel respiratori baru dari aera yang tidak trauma dimulai dalam beberapa jam , dengan perkiraan kecepatan 4 hingga 20 mikrometer per jam dalam sinus. Sel epitel mukosa hidung pada tepi luka kehilangan polaritas pada bagian apical-basal dan mengembangkan sitoplasma kedalam luka. Empat prose yang berbeda selama regenerasi: migrasi pada epitel yang terdekat, multiplikasi dan sel undifferentiated , reorientasi dan differensiasi. Sel basal resipratori undiffereintiated dari area yang tidak terkekan trauma terlihat sebagai sumber sel baru. HIpotesis berbeda di usulkan untuk menjelaskan awal reepitelisasi.: tidak adanya sel tetangga pada tepi luka, pelepasan faktor pertumbuhan lokal, peningkatan receptor pertumbuhan

  1. Remodelling

Remodeling mukosa hidung, maturasi sel dan apoptosis yang tumpang tindih dengan pembentukan jaringan dan remodeling luka dapat berlanjut hingga 6 bulan pasca operasi. Banyak sel memproduksi proteimase yang mendegradasi matriks ekstraseluler. Enzi mini dapat dibagi dalam 3 group : serin poteinase, matriks metalloproteinase (MMPs) dan sistein proteinase (capthepsins). MMP memerlukan Zn+ aktif untuk mekanisme katalitiknya dan dapat di kelompokkan berdasarkan kemampuan degradasinya pada ECM : Kolagenase interstitial-1, gelatinase A dan B, matrilisin, makrofag metaloelastase dan transmembran metalloproteinase. Aktivitas proteolitiknya dikontrol oleh inhibitor metaloprateinase 1-3(TIMPs). Pada fase remodeling atau maturasi, respon inflamasi dan angiogenesis berkurang sementara proliferasi fibroblast meningkat. Komposisi ECM berubah sesuai luka yang sembuh. Awalnya ECM utamanya tersusun atas asam hialuronat, fibrionectin dan kolagen tipe I , III dan V. Selama remodeling ratio kolagen tipe I terhadap tipe III berubah hingga tipe I yang dominan. Keseimbangan dinamik antara sintesis dan lisis kolagen bertanggung jawab terhadap proses maturasi. Fase ini ketegangan luka meningkat.

Gbr 3. Healing phases

2a: trauma with formation of haemostatic plug

2b: inflammation: first, neutrophilic and later, lymphomonocytic cell infiltration

2c: tissue formation and maturation: epithelial reconstruction, fibroplasia and angiogenesis


Penutup

BSEF merupakan standar prosedur terapi untuk rinosinusitis kronik dan polip hidung yang gagal dengan terapi medikamentosa. Proses penyembuhan mukosa setelah BSEF melibatkan proses yang terkoordinasi dan organisasi yang baik melibatkan proses koagulasi, inflamasi , pembentukan jaringan, dan remodeling atau maturasi. Penelitian lain tentang perubahan mukosa setelah BSEF menyebutkan bahwa proses penyembuhan di bagi dalam 3 tahapan yakni pembersihan rongga operasi , transisi mukosa dan epitelisasi lengkap.Pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat pada tahapan ini sangat penting pada hasil BSEF.

DAFTAR PUSTAKA

1. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia dalam Buku panduan diseksi cadaver, Bandung ORL-HNS Week Endoscopic Sinus Surgery Workshop. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL. FK UNPAD, 2009.

2. Bailey, Byron J. Dynamics of wound Healing in Head and neck surgery otorhinolaryngology, fourth ed vol I,.: p 198, 2004.

3. Dharmabakti US, Perawatan pasca operasi dan komplikasi bedah sinus endoskopi fungsional dalam Kumpulan naskah lengkap kursus, pelatihan dan demo bedah sinus endoskopik fungsional (10-12 juni 2000). Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2000.

4. Levine H. Outcome and Results in the Surgical Management of Rhinosinusitis in Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. Thieme Medical Publishers, New York. 2005. p 256.

5. Watelet JB, Bachert C, Gevaert P, Van Cauwenberge P . Wound Healing of nasal and paranasal mucosa : a review Am J Rhinol 2002 ; 12 : 77-84.

6. Watelet JB, Fibrogenic growth factors and metalloproteinases during wound healing after sinus surgery. Faculty of Medicine and Health Sciences, Gent University. 2004.

7. Geng Xu, Hongyan Jiang, Huabin Li, Jianbo Shi, Hexin Chen. Stages of Nasal Mucosal Transitional Course after Functional Endoscopic Sinus Surgery and Their Clinical Indications. Journal ORL. Vol.70.No.2. 2008.

Selasa, 02 Maret 2010

ANGINA LUDWIG

ANGINA LUDWIG

1. PENDAHULUAN

Angina Ludwig atau dikenal juga dengan nama Angina Ludovici, pertama kali dijelaskan oleh Wilheim Frederickvon Ludwig pada tahun 1836 (1- 4), merupakan salah satu bentuk abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana yang terlibat, gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. Yang termasuk abses leher dalam ialah abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring dan angina ludovici (angina Ludwig) atau abses submandibular. (1)

Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan submandibula.(1-9) Ruang suprahioid berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada os. Hyoid dan m. mylohyoideus. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial. (1,4)

2. EPIDEMIOLOGI

Kebanyakan kasus angina Ludwig dapat terjadi pada orang sehat secara dini. Dengan terdapat faktor predisposisi berupa diabetes mellitus, neutropenia, alkoholik, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomyositis, dan sistemik lupus eritematosus. Penderita terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun, walaupun pernah dilaporkan terjadi sejak 12 hari-84 tahun. Kasus ini dominan terjadi pada laki-laki (3:1 sampai 4:1).(2, 3,8)

3. ANATOMI

Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan fasia penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi pada leher. Ruang yang dibentuk oleh berbagai fasia pada leher ini adalah merupakan area yang berpotensi untuk terjadinya infeksi. Invasi dari bakteri akan menghasilkan selulitis atau abses, dan menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe. (2)

Ruang submandibular merupakan ruang di atas tulang hyoid (suprahyoid) dan otot mylohyoid. Di bagian anterior otot mylohyoid memisahkan ruang ini menjadi dua yaitu di bagian superior adalah ruang sublingualis dan di bagian inferior yaitu otot submaksilaris. Adapula yang membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang sublingualis, ruang submentalis dan submaksillaris. (1-4)

Gambar 1. Ruang Sublingual, di bagian superior dari otot mylohyoid. Ruang submandibularis yang berada di inferior dari otot mylohyoid. (Diambil dari kepustakaan 2)

Ruang submandibularis dipisahkan dengan ruang sublingualis di bagian superiornya oleh otot mylohyoid dan otot hyoglossus, di bagian medialnya oleh styloglossus dan di bagian lateralnya oleh korpus mandibula. Batas lateralnya berupa kulit, fasia superfisial, otot platysma lapisan superfisial pada fasia servikal bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh otot digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya terhubung dengan ruang pharyngeal. Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillaris, duktus Wharton, nervus lingualis dan hypoglassal, arteri fasialis, dan sebagian nodus limfe dan lemak. (10)

Ruang submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang terletak di garis tengah di bawah mandibula dimana batas superior dan lateralnya dibatasi bagian anterior dari otot digastricus. Dasar pada ruangan ini adalah otot mylohyoid sedangkan atapnya adalah kulit, fasia superficial, dan otot platysma. Ruang submental mengandung beberapa nodus limfe dan jaringan lemak fibrous. (10) Ruang submaxillaris berada di bawah otot myelohyoid, dan ruang sublingual berada di atasnya tetapi masih di bawah lidah (11)

Ruang-ruang yang sering terkontaminasi adalah leher bagian depan, ruang faringomaksilaris (parafaringeal), retrofarings dan mediastinum superior.(3)

4. ETIOLOGI

Dilaporkan sekitar 50%-90% angina Ludwig berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka, infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar atau lantai mulut. (1, 3, 5,12 ,13)

Organisme yang paling banyak ditemukan padapenderita angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Banteri anaerob seringkali juga diisolasi meliputi bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, dan Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella. (1-3,5,7,13)

5. PATOGENESIS

Berawal dari etiologi di atas seperti infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam yang merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahangbawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringeal.(1) Abses pada akar gigi yang menyebar ke ruang submandibula akan menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi, nyeri terjadi jika terjadi ketegangan antara tulang.(7)

Gambar 2. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi oleh m. mylohyoideus. (Diambil dari kepustakaan 12)

Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas.(1)

Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikutistruktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang- ruang fasia leher. (1)

Gambar 3. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga. (Diambil dari kepustakaan 12)

Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior dan posterior, sehingga mendorong supraglotic larynx dan lidah ke belakang akhirnya mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas.(1,3)

Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula dan di bagian inferior yaitu otot mylohyoid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah.(2)

Gambar 4. Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid Ruang ini dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar pertama. (Diambil dari kepustakaan 12)

Gambar 5. Proses penyebaran ke bagian superior dan posterior yang mendorong lantai dasar mulut dan lidah. Pada penyebaran secara anterior, batas tulang hyoid meluas ke arah inferior dan menyebabkan gambaran “bull neck”. (Diambil dari kepustakaan 2)

Tulang hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior, dan pembengkakan menyebar di daerah depan leher yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “Bull neck”. (2)

6. GEJALA KLINIS

Penderita angina Ludwig yang mempunyai riwayat hygiene mulut atau baru saja malakukan ekstraksi gigi dan sakit gigi.yang buruk gejala yang timbul dapat bersamaan dengan sepsis seperti demam, takipne dan takikardi. (3)

Figure 1

Figure 2

Figure 3

Pembengkakan submental, mulut tidak dapat membuka.

Pembengkakan yang menegang, pasien tidak dapat membuka mulutnya.

Bengkak meluas ke arah lateral dan pasien mengalami abrasi pada hidung.

Gambar 6. Gambaran klinis angina Ludwig (diambil dari kepustakaan 2)

Gambar 7. Abses submandibula pada orang dewasa

dengan diabetes mellitus (diambil dari kepustakaan 1)

Gejala yang lain adalah nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis, nyeri tekan dan keras pada perabaan (seperti kayu), drooling, dan trismus. Ada juga yang mengalami disfonia (a hot potato voice),dikarenakan edema pada organ vokal. (3)

Pada pemeriksaan mulut didapatkan dasar mulut dan leher depan membengkak secara bilateral berwarna kecoklatan , dapat mendorong lidah ke atas dan belakang sehingga menimbulkan sesak nafas. Pada palpasi teraba tegang dan kadangkala ada emfisema subkutan serta tidak ada fluktuasi atau adenopati.. Meskipun banyak pasien sembuh tanpa komplikasi, angina Ludwig dapat berakibat fatal dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas dan atau stridor karena sumbatan jalan napas kemudian sianosis. (1, 3,5,6)

7. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Daria anamnesis didapatkan gejala berupa nyeri pada leher (1), kesulitan makan dan menelan(13). Dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi(1,3,5) atau adanya riwayat higien gigi yang buruk(3).

b. Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan tanda vital biasa ditemukan tanda-tanda sepsis seperti demam, takipnea, dan takikardi.(3,7) Selain itu juga ditemukan adanya edema bilateral, nyeri tekan dan perabaan keras seperti kayu pada leher, trismus, drooling,(1,3,7) disfonia, dan pada pemeriksaan mulut didapatkan elevasi lidah, tetapi biasanya tidak didapatkan pembesaran kelenjar limfe.(3)

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa foto polos leher dan dada, yang mana sering memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, dan penyempitan jalan napas.(3) Pemeriksaan CT-Scan memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, akumulasi cairan, dan juga dapat sangat membantu untuk memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan bantuan.(3,4) Selain itu foto panoramik rahang dapat membantu untuk menentukan tempat fokal infeksinya.(3)

Pemeriksaan Penunjang.

- Pemeriksaan Laboratorium darah tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase.

- Pemeriksaan kultur dan sensitivitas untuk menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.

- Foto x-ray posisi lateral untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan jaringan lunak dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain adanya obstruksi jalan nafas.

- Foto panoramik berguna untuk mengidentifikasi lokasi abses serta struktur tulang yang terlibat infeksi.

- CT-scan

8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding dari angina Ludwig adalah : karsinoma lingua, sublingual hematoma, abses glandula salivatorius, limfadenitis, dan peritonsilar abses.(3)

Untuk dapat menegakkan diagnosis Angina Ludwig ada empat kriteria yang dikemukakan oleh Grodinsky yaitu(1,3) :

1. Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga

2. Menghasilkan infiltrasi yang gangren-serosanguineous dengan atau tanpa pus

3. Mencakup fasia jaringan ikat dan otot namun tidak melibatkan kelenjar

4. Penyebaran secara perkontinuitatum dan bukan secara limfatik

9. PENATALAKSANAAN

Setelah diagnosis angina Ludwig ditegakkan, maka penanganan yang utama adalah menjamin jalan napas yang stabil melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anastesi lokal.(1,3,4,9) Selain itu, untuk mengurangi pembengkakan mukosa dapat diberikan nebulisasi epinefrin.(3) Kemudian diberikan antibiotik dosis tinggi dan berspektrum luas secara intravena untuk organisme gram positif dan gram negatif, aerob maupun anaerob. Antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil kultur dan hasil sensitifitas pus.(1,3) Antibiotik yang diberikan misalnya penicillin-G dengan metronidazole, clindamicin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoksisilin-clavulanate.(3,4,13,14) Walaupun masih merupakan suatu kontroversial, tetapi pemberian dexamethason secara intravena untuk mengurangi edema pada jalan napas masih sering diterapkan.(3,4)

Drainase dipertimbangkan apabila terdapat infeksi supuratif, adanya penemuan radiologis berupa akumulasi cairan atau udara pada jaringan lunak, krepitus, atau needle aspirate yang purulen.(3) Drainase juga dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan klinik setelah pemberian terapi antibiotik.(3)

PENATALAKSANAAN

4 Prinsip utama

1. Proteksi dan kontrol jalan napas

2. Pemeberian antibiotik yang adekuat

3. Insisi dan drainase abses

4. Hidrasi dan nutrisi adekuat

10. KOMPLIKASI3

Komplikasi yang dapat timbul pada angina Ludwig yang tidak diterapi secara tepat adalah sebagai berikut:

a. Obstruksi jalan napas

b. Infeksi carotid sheath

c. Tromboplebitis supuratif pada vena jugular interna

d. Mediastenitis

e. Empiema

f. Efusi pleura

g. Osteomielitis mandibula

h. Pneumonia aspirasi

11. PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi ke dokter secara rutin dan teratur, penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi yang akan meningkatkan terjadinya angina Ludwig.(1)

12. PROGNOSIS

Prognosis Angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas dan kemudian pemberian antibiotik.(3) Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. (1) Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%.(3) Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat, penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Dengan begitu angka mortalitas juga menurun hingga kurang dari 5%.(3)

12. KESIMPULAN

Angina Ludwig adalah suatu penyakit infeksi jaringan lunak dasar mulut dan leher. Infeksi tersebut disebabkan oleh bakteri gram positif, gram negatif, aerob maupun anaerob. Biasanya penderita dengan penyakit tersebut memiliki riwayat sakit gigi, mengorek, dan mencabut gigi. Untuk menghindari terjadinya komplikasi yang fatal, maka harus mewaspadai gejala-gejala klinik dari penyakit tersebut, salah satunya penyempitan jalan napas.

Mengontrol jalan napas sangat penting dan untuk itu dipertimbangkan pemberian antibiotik, drainase, dan trakeostomi. Dengan deteksi dan pengobatan dini, maka angka mortalitas dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahardjo, S P. Penatalaksanaan angina Ludwig. [serial online] Januari-Maret 2008 [cited 2008 Feb 05]; Vol.21.No.1. Available from : URL: http://www.DexaMedica.co.id

2. Hartman jr,R W. Ludwig’s Angina in Children. [serial online] July 1999 [cited 2009 Feb 05]; Vol.60/No.1. Available from: URL:http://www.aafp.org/afp/990700ap/contents.html

3. Lemonick, D M. Ludwig’s Angina : Diagnosis and treatment. [serial online] July 2002 [cited 2009 Feb 03]; Clinical review Article. Available from: URL:http://www.turner-white.com

4. Kulkarni A H, Pai S D, Bhattarai B, Rao S T, Ambareesha M. Ludwig’s Angina and airway consideration : a case report. [serial online] June 2008 [cited 2009 Feb 03]; Cases Journal 2008, 1:19. Available from: URL: http://www.casesjournal.com/content/1/1/19

5. Fachruddin, D. Abses leher Dalam. In:Soapardi E A, Iskandar N I, Bashiruddin J eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan-Telingan hidung tenggorokan Kepala & Leher. Edidi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. P.230.

6. Adams G L, Boeis jr L R, Higler P A, eds. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Philadelphia: W.B. Sauders Company; 1994.p.345-6.

7. Hibbert J. ed. Laryngology and Head and Neck Surgery. Oxford: Butterworth-Heinemann; 1997.p.5/16/17

8. Ocasio-Tasco M E, Martinez m, Cedeno A, Torres Palacios A, Alicea E, Rodrigues-Cintro W. Ludwig's Angina: An Uncommon Cause of Chest Pain [serial online] May 2005 [cited 2009 Feb 03]; South Med J. 2005;98(5):561-563. Available from: URL: http://www.medscape.com/viewarticle/504979_2

9. Cummings C W.Ed. Otolaringology Head and Neck Surgery.4th Ed. Pennsylvania: Elsevier Mosby; 2005. P. 2517.

10. Bailey BJ. Odontogenic infection. Head and Neck Surgery- Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia:Lippincott-Raven; 1998.p.674-5

11. Ballenger J J. Disease of the oral cavity. In: Ballenger J J, Snow Jr J B,eds. Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. 15th Ed. United states of America : Williams & Walkins; 1996.p.233-234.

12. Chummings, CW. Odontogenic infection. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. p. 1206-8.

13. Chow A W. infection of the oral cavity, neck, and head. In: Mandell GL, Bennet J E, Dolin R. Mandell, Douglas and Bennet’s Principle and Practice of Infectious Disease.6th Ed. Churchill Livingstone: Elsevier;2005. p.793.

14. Bisno AL. Pharyngitis. In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R. 6th Ed, Vol. 1. Mandell, Douglas, and Bennet’s Principles and Practice of Infectious Diseases. Elsevier Churchill Livingstone Pennsylvania: 2005. p.756